Mengapa Popularitas dan Uang Tidak Seharusnya Menjadi Syarat Pemimpin
Ketika popularitas dan uang masih menjadi syarat utama untuk menjadi pemimpin, jangan terlalu berharap banyak pada hasil kepemimpinan. Fenomena ini sangat menyedihkan, karena berakar pada tingkat pendidikan pemilih. Jika mayoritas pemilih memiliki pendidikan yang rendah, kondisi ini akan terus berulang. Perubahan harus dimulai dengan mencerdaskan pemilih agar kepemimpinan tidak lagi hanya ditentukan oleh popularitas dan kekayaan.
Kita semua ingin melihat pemimpin yang cerdas, adil, berakhlak mulia, berjiwa kepemimpinan, dan taat beragama. Pemimpin adalah cerminan dari masyarakat yang dipimpinnya. Fenomena pemimpin yang hanya terkenal dan kaya ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Ketika hanya ketenaran dan kekayaan yang menjadi syarat, kemajuan dapat berjalan lambat, atau bahkan mandek. Lebih buruk lagi, bisa membawa kemunduran. Lihat beberapa negara yang bahkan selebriti malah dipiluh jadi pemimpin.
Secara logika, kita seharusnya memilih pemimpin terbaik dari kita, bukannya orang yang tidak kompeten. Orang pintar dan cerdas tentu tidak ingin dipimpin oleh orang bodoh. Namun, politik dinasti bertahan karena pemilih cenderung memilih apa yang mereka kenal tanpa mempertimbangkan dampak dari pilihan tersebut. Inilah yang menyebabkan Dinasti terus bertahan di Indonesia.
Untuk pemilih seperti ini, solusi bisa ditempuh dengan hanya menampilkan calon-calon terbaik, mencegah orang yang tidak kompeten dan politik dinasti ikut serta dalam pemilihan. Sehingga pemilih hanya memilih yang terbaik dari yg terbaik. Walaupun asal tetap yang baik yang terpilih. Ini adalah tanggung jawab demokrasi, yaitu menghasilkan pemimpin yang benar-benar terbaik untuk dipilih, bukan hanya yang memiliki elektabilitas tinggi. Partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk mencalonkan individu yang kompeten dan layak memimpin.
Pemimpin Indonesia seharusnya adalah yang terbaik dari 200 juta penduduknya, bukan hanya yang paling terkenal di seluruh negeri. Proses pemilihan pemimpin di Indonesia memang melalui partai politik, di mana calon yang diajukan sering kali merupakan keputusan elit partai, bukan representasi dari rakyat secara langsung. Sebagai rakyat, kita hanya bisa memilih dari apa yang disajikan oleh partai. Jika yang diajukan adalah orang-orang terbaik, itu merupakan keberuntungan. Namun, jika yang dipilih adalah orang yang tidak kompeten, kita terpaksa memilih dari pilihan yang ada.
Selama partai politik masih memilih calon berdasarkan popularitas, kita akan terus terjebak dalam siklus ini. Maka, yang bisa kita lakukan sekarang adalah menerima kenyataan tersebut, sambil tetap berharap dan berusaha semampu kita agar adanya perubahan dalam sistem.
Sebagai perbandingan, para bapak bangsa kita adalah orang-orang yang terbaik, kritis, intelektual, dan berkarya baik di dalam maupun luar negeri. Lihatlah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Mohammad Natsir, Haji Agus Salim, Rasuna Said, Buya Hamka, dll. Di masa yang serba terbatas, mereka mampu melahirkan tokoh dengan gagasan-gagasan besar, berwawasan luas, cerdas. Sekarang, di tengah kemudahan teknologi dan akses informasi, seharusnya tokoh-tokoh yang lebih baik dapat muncul memimpin menuju kemajuan Indonesia.
Tapi ini mungkin penyebabnya ya? Siklus kehidupan dalam masyarakat dan kepemimpinan:
Masa sulit melahirkan orang kuat: Di masa penuh tantangan, individu yang tangguh, cerdas, dan penuh inisiatif muncul untuk mengatasi kesulitan.
Orang kuat melahirkan masa mudah: Ketika orang-orang kuat memimpin, mereka mampu mengubah keadaan, menciptakan stabilitas, kemajuan, dan kemakmuran, sehingga generasi berikutnya menikmati kehidupan yang lebih mudah.
Masa mudah melahirkan orang lemah: Dalam kemakmuran dan kenyamanan, orang cenderung menjadi kurang tangguh, tidak terbiasa menghadapi kesulitan, dan kurang inovatif.
Orang lemah menghasilkan masa sulit: Ketika orang-orang yang lemah memimpin atau berperan dalam masyarakat, mereka tidak mampu mengatasi tantangan baru, yang akhirnya mengembalikan masyarakat ke dalam masa sulit.
Siklus ini sering dijadikan refleksi dalam sejarah dan politik, menunjukkan bahwa kesejahteraan dan tantangan sering saling bergantian, bergantung pada kekuatan dan karakter pemimpin serta masyarakat di masanya.