Mengantisipasi Fenomena LGBT dalam Dunia Pendidikan
Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman yang berprofesi sebagai psikolog. Pertanyaannya sederhana namun penting: "Apakah ada cara untuk mencegah calon pendidik yang memiliki orientasi seks menyukai sesama jenis (homo/lesbian/LGBT) lolos dalam proses penerimaan tenaga pendidik?" Pertanyaan ini relevan mengingat adanya sesi wawancara dalam proses perekrutan tenaga pendidik. Mungkin ada metode psikologis yang dapat diterapkan untuk mencegah individu dengan orientasi seksual tersebut masuk ke dunia pendidikan.
Menurut teman psikolog, sebenarnya, di beberapa institusi atau perusahaan, sudah dilakukan screening awal terkait orientasi seksual yang berbeda. Namun, tidak semua institusi atau perusahaan menggunakan metode atau tes psikologi yang valid, baik dalam pelaksanaan maupun evaluasinya. Bahkan, meskipun screening awal tidak mendeteksi potensi LGBT, lingkungan sekitar kadang melazimkan perilaku tersebut dengan alasan penerimaan sosial, menjaga kesehatan mental individu yang bersangkutan, menjaga nama baik instansi atau perusahaan, atau karena individu tersebut memiliki kinerja yang baik. Akibatnya, potensi LGBT yang ada semakin terlihat dalam perilaku sehari-hari.
Dalam proses rekrutmen, meskipun ada potensi LGBT yang terdeteksi, kadang keputusan untuk meloloskan tetap diambil dengan alasan kebutuhan tenaga kerja atau keahlian yang dimiliki individu tersebut. Meskipun psikolog atau psikiater dilibatkan untuk memberikan rekomendasi, keputusan akhir tetap berada di tangan pihak user, yaitu instansi atau perusahaan.
Hal ini penting karena jika komunitas LGBT masuk ke dunia pendidikan—baik itu di sekolah negeri maupun swasta, di asrama atau bukan, di sekolah agama maupun umum, pada tingkat dasar hingga perguruan tinggi—risiko terjadinya pelecehan dapat meningkat. Korban pelecehan bisa mencapai belasan bahkan puluhan. Bagi beberapa orang LGBT, lingkungan sekolah bisa dianggap sebagai tempat yang ideal untuk melampiaskan dorongan seksualnya.
Kepada mereka yang mengalami orientasi seksual LGBT, saya ingin menyampaikan: BEROBATLAH! Jangan sampai nafsu yang Anda miliki merusak masa depan anak-anak. LGBT adalah sebuah kondisi yang bisa disembuhkan. Dan kondisi ini dapat menular—seperti yang terlihat dari beberapa kasus, di mana pelaku pelecehan dulunya adalah korban. Mata rantai ini harus segera diputus. Kita tidak boleh menunggu sampai anak-anak kita menjadi korban sebelum bertindak, atau menunggu sampai anak dari tokoh terkenal menjadi korban sebelum kita mengambil langkah serius.
Yang tak kalah penting, komunitas LGBT sangat rentan terhadap penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS, serta berbagai penyakit kelamin lainnya. Sejak banyak negara di dunia mengakui keberadaan komunitas LGBT, mereka yang dulunya mungkin merasa malu atau takut, kini lebih berani tampil. Ditambah lagi dengan kemudahan akses internet, materi terkait LGBT semakin mudah diakses, dan komunitas LGBT online pun semakin berkembang.
Selain itu, edukasi kepada anak-anak harus ditingkatkan. Hal ini harus dimulai dari rumah dan di lembaga pendidikan seperti PAUD/TK. Idealnya, edukasi tentang LGBT sudah menjadi bagian dari kurikulum di PAUD/TK, meskipun saya tidak yakin apakah hal ini sudah diterapkan di sekolah-sekolah. Keterlibatan orang tua juga sangat penting. Sayangnya, banyak orang tua yang cenderung lepas tangan setelah menyerahkan anak mereka ke sekolah. Saat anak-anak libur sekolah, sebagian orang tua malah merasa pusing dan berusaha memasukkan anak mereka ke berbagai les untuk mengisi waktu
Kita harus bersama-sama berupaya mengatasi LGBT yang berpotensi merusak generasi masa depan bangsa ini. Keinginan sembuh dari pengidap harus difasilitasi dengan meningkatkan akses pengobatan serta layanan kesehatan, sehingga dapat menekan penyebaran fenomena LGBT. Tindakan hukum terhadap pelanggaran terkait LGBT juga harus tegas dan ketat, guna memberikan efek jera serta mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Fenomena LGBT ini ibarat gunung es; banyak kasus yang tidak terungkap karena berbagai alasan, seperti menjaga nama baik sekolah atau institusi, rasa malu, dan takut. Para pemimpin dan tokoh masyarakat harus segera mencari solusi yang cepat dan tepat untuk mengantisipasi hal ini. LGBT, seperti halnya virus, bila terlambat ditangani akan menyebar luas. Mungkin diperlukan daftar hitam (blacklist) bagi individu LGBT yang harus disebarkan ke seluruh lembaga pendidikan guna mencegah pelaku yang lolos dari jerat hukum berbuat hal yang sama di sekolah atau institusi lain.
Selain itu, mewajibkan tes psikologi khusus LGBT pada setiap penerimaan tenaga kerja, serta mengadakan tes rutin bagi pendidik, karyawan, pegawai, dan pekerja, dapat menjadi langkah preventif untuk mendeteksi dini orientasi seksual LGBT. Dengan demikian, solusi yang tepat dapat segera diberikan, baik melalui terapi, pengobatan, atau langkah lainnya.
Apa solusi terbaik lainnya menurut Anda?